DAMPAK REDOMINASI TERHADAP SEKTOR PARIWISATA
Wacana Redenominasi Munculkan Kepanikan (wacana 1)
Selasa, 03 Agustus 2010 19:58 WIB
BI menegaskan, redenominasi tidak sama dengan sanering atau pemotongan nilai mata uang. Dalam redenominasi mesti tiga angka nol terakhir dihilangkan, tetapi nilainya tetap sama.
Menurut BI, uang dengan nominal besar seperti sekarang kurang efisien serta merepotkan pembayaran. Karena itu, kebijakan redenominasi tersebut diharapkan akan bermanfaat besar bagi perekonomian yang akan membuat pencatatan dan pembukuan akan lebih efisien.
Menurut Bambang, sebagai Gubernur BI yang baru, Darmin mestinya memprioritaskan upayanya menurunkan suku bunga untuk kredit investasi dan kredit modal kerja bagi pemulihan kinerja sektor riil dalam negeri, merancang pembiayaan usaha khusus yang bisa diserap UMKM, mewaspadai dan mengelola gelembung 'hot money' serta 'memaksa' pemodal dan pemilik asing dalam industri perbankan aktif membiayai investasi baru.
"Salah satu aspek paling utama yang harus dikerjakan Darmin saat ini adalah segera memperkecil 'spread' bunga deposito dan bunga kredit untuk kegiatan produktif, agar penurunan suku bunga segera terwujud," katanya.
BI: Redenominasi Bukan Pemotongan Uang (wacana 2)
Selasa, 3 Agustus 2010 19:52 WIB | Ekonomi & Bisnis | Moneter | Dibaca 5372 kali
Jakarta (ANTARA News) - Gubernur Bank Indonesia (BI) terpilih, Darmin Nasution, menegaskan bahwa redenominasi rupiah bukanlah sanering atau pemotongan daya beli masyarakat melalui pemotongan nilai uang.
"Redenominasi sama sekali tidak merugikan masyarakat karena berbeda dengan sanering atau pemotongan. Dalam redenominasi nilai uang terhadap barang tidak akan berubah, yang terjadi hanya penyederhanaan dalam nilai nominalnya berupa penghilangan beberapa digit angka nol," jelas Darmin di Jakarta, Selasa.
Darmin mengemukakan, redenominasi biasanya dilakukan dalam kondisi ekonomi yang stabil dan menuju ke arah yang lebih sehat, sedangkan sanering adalah pemotongan nilai mata uang dalam kondisi perekonomian yang tidak sehat, yaitu dengan memotong nilai uangnya saja. Menurut Darmin, redenominasi akan menyederhanakan sistem akuntasi dalam sistem pembayaran tanpa menimbulkan dampak negatif bagi perekonomian.
"BI belum akan menerapkan redenominasi dalam waktu dekat ini karena BI menyadari bahwa redenominasi membutuhkan komitmen nasional serta waktu dan persiapan yang cukup panjang,"katanya.
Beberapa faktor yang mendukung suksesnya pelaksanaan redenominasi adalah ekspektasi inflasi yang berada pada kisaran rendah dengan pergerakan yang stabil, stabilitas perekonomian yang terjaga serta adanya jaminan terhadap stabilitas harga serta adanya kebutuhan dan kesiapan masyarakat.
Oleh: Syarkawi Rauf (Regional Chief Economist BNI)
Kebijakan redenominasi merupakan hal yang lumrah dilakukan dan bahkan beberapa negara telah melakukannya beberapa kali dalam rentang waktu 50 tahun terakhir. Sebagai contoh, sejak tahun 1960 hingga sekarang, terdapat 61 negara yang melakukan redenominasi dan paling terakhir dilakukan Turki tahun 2005, Slovenia (2006), dan Nigeria (2008).
Lalu apa yang perlu dikhawatirkan dari kebijakan redenominasi? Sejatinya redenominasi mata uang bertujuan untuk mempermudah penggunaan mata uang dalam setiap kali transaksi, memudahkan pemahaman masyarakat dalam penggunaan uang sebagai alat transaksi, dan meningkatkan efisiensi dalam pengelolaan mata uang. Namun demikian, setiap kebijakan pasti memiliki ongkos ekonomi, baik langsung maupun tidak langsung, apa lagi jika penerapan suatu kebijakan dilakukan secara terburu-buru tanpa proses sosialisasi yang panjang.
Urgensi Redenominasi
Secara teoritis, uang memiliki fungsi yang paling dasar sebagai medium of exchange (alat pertukaran). Uang berperan memfasilitasi proses transkasi antara penjual dan pembeli dengan biaya pertukaran (transaction cost) sekecil mungkin, tanpa harus mengeluarkan biaya tambahan untuk membawa uang dari rumah ke pasar. Ibu rumah tangga tidak perlu menyewa body guard ketika berbelanja ke pasar karena membawa uang dalam jumlah banyak.
Pecahan uang yang besar dengan harga barang yang juga tinggi menyebabkan perputaran uang menjadi terhambat dan pertukaran menjadi tidak efisien yang selanjutnya melalui berbagai jalur transmisi menyebabkan perkembangan perekonomian menjadi terhambat. Selain itu, pecahan uang yang besar menyebabkan tingginya biaya dalam mencetak dan mendistribusikannya.
Melalui faktor psikologis, pecahan uang yang besar juga berdampak pada inflationary expectation (ekspektasi inflasi). Implikasi dari rendahnya kredibilitas mata uang rupiah secara internasional adalah terjadinya currency substitution atau peralihan penggunaan rupiah dalam setiap transaksi ke dolar AS. Currency substitution dalam skala tertentu sebenarnya sudah terjadi di Indonesia, di mana pembelian untuk produk-produk tertentu menggunakan dolar AS karena transaksi menggunakan rupiah tidak efisien, rendahnya kredibilitas mata uang rupiah, dan sulitnya melakukan konversi dari rupiah ke dolar AS. Fenomena seperti ini tidak mustahil terjadi secara luas jika tidak diantisipasi lebih awal.
Redenominasi diperlukan untuk mengantisipasi kesepakatan integrasi ASEAN secara penuh menuju pembentukan mata uang tunggal ASEAN pada 2015. Meskipun penyatuan mata uang masih membutuhkan upaya keras untuk menyamakan beberapa indikator ekonomi utama antarnegara di ASEAN dan juga membutuhkan kesepakatan politik antarpemerintah (masyarakat) negara-negara ASEAN, namun hal ini tetap harus diantisipasi sehingga nilai konversi rupiah tidak terlalu besar. Hal yang sama juga pernah ditempuh oleh negara-negara Eropa seperti Slovenia, Belgia, Jerman, Irlandia, Austria, dan Hungaria yang meredenominasi mata uangnya sebelum bergabung ke Euro.
Analisis Dampak Redenominasi Terhadap Sektor Pariwisata
setiap suatu kebijakan dari negri ini pasti akan menimpulkan pro-kontra. Pada wacana kebijakan redenominasi banyak yang menentangnya namun tidak sedikit pula yang mendukung hal tersebut. Pada kali ini akan dibahas mengenai dampak redenominasi pada sektor pariwisata.
Berdasarkan kumpulan cuplikan berita diatas, dapat dianalisis bahwa walaupun kebijakan redenominasi merupakan momok yang menakutkan bagi masyarakatkan yang tidak mengerti serta menyamakannya dengan istilah sanering namun bagi sektor pariwisata hal ini dapat membawa dampak yang baik.
Menurut salah satu tanggapan pembaca yang pernah saya baca mengungkapkan bahwa rupiah dikenal sebagai mata uang yang lemah di mata ekonomi dunia, pergeseran 0,001 uang dolar sudah mampu mempengaruhi ekonomi Negara Indonesia karena hal tersebut sudah memindahkan 1 lembaran uang negara (lembar seribu).
Dalam hal pariwisata, warga asing menganggap rupiah mahal karena dalam hal perhitung menggunakan kalkulator terdapat banyak digit dan harga 1 soft drink kecil adalah Rp 6.500 padahal di negara mereka harganya beberapa sen saja, sehingga mereka enggan membelinya.
Dalam bidang software banyak software tidak mengakomodasi digit yg banyak sehingga banyak software keuangan tidak banyak berfungsi di Indonesia.
Redenominasi dapat berjalan lancar jika tingkat inflasi pra dan pasca redenominasi bias dijaga stabil. Hal ini dapat dilakukan dengan menyediakan pecahan terkecil dalam jumlah yang cukup. Hal itu perlu dilakukan agar tidak terjadi inflasi yang disebabkan oleh naiknya harga barang akibat pembulatan harga yang terlalu besar. Sosialisasi juga berperan penting, Turki memerlukan waktu 10 tahun agar proses redenominasi berjalan lancar.
Jika kebijakan redenominasi berjalan lancar maka kurva supply-demand dalam sektor pariwisata akan akan berubah, hal ini dikarenakan turis asing meningkat. Peningkatan ini dapat diprediksikan berdasarkan dampak psikologis yang dialami para turis asing. Jika sebelumnya mereka enggan membeli produk yang ada di Indonesia dengan menggunakan rupiah karena dianggap mahal, maka setelah di redenominasi angka yang tertera pada rupiah akan sama dengan angka pada mata uang asing. Meningkatnya turis asing maka akan meningkatkan devisa Negara, maka pendapatan masyarakat akan bertambah. Dari pernyataan tersebut dapat diperoleh kurva supply-demand sebagai berikut :